Kamis, 02 Februari 2012

ILMU SASTRA


JURNALISME SASTRA

I. Sejarah Jurnalisme Sastra
Gay Talese menulis tentang petinju lapuk, Joe Louis, di Majalah Esquire (1962). Tulisan ini dituturkan dalam format cerita ringan, lebih mirip orang bercerita, gaya tuturannya sangat menyetuh seperti membaca sebuah cerita fiksi. Gaya tulisan Gay Talese ini, ternyata mampu membuat doktor American Studies dari Yale University, Thomas Kennerly Wolfe Jr atau lebih dikenal dengan sebutan Tom Wolfe terkesima. Dia lantas membuat tulisan yang mengupas teknik penulisan yang dibuat Gay Talese.
Dalam kupasannya, Tom Wolfe menguraikan, teknik penulisan Jurnalisme Baru telah lahir. Tulisan tersebut menggunakan teknik reportase dan gaya pelaporan yang tidak dibatasi sekat-sekat narasi lama. Wolfe kemudian mengobservasi dan mempraktekkannya. Ternyata jenis tulisan semacam ini banyak disukai oleh pembaca. Dan, dikarenakan gaya penulisannya mirip sebuah novel (Tom Wolfe menyebutnya; like a novel). Teknik penulisan Jurnalisme Baru itupun dinamakan pula sebagai teknik penulisan Jurnalisme Sastra.
Mulanya, penulisan laporan dengan gaya sastra digunakan untuk menandingi atau mengungguli kecepatan penyampaian informasi melalui media audio maupun audio visual (televisi dan radio). Dalam teknik penulisan ini dibutuhkan adalah kemampuan dalam mendalami informasi serta kemampuan untuk menuangkan infromasi dengan lebih “indah”. Biasanya, untuk mendapatkan data-data untuk kepentingan penulisan jurnalisme sastra atau new jurnalisme seorang jurnalis banyak mengamati latar suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang serta mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.
Menurut kalangan akademisi Amerika, secara umum eksplorasi kerja para jurnalis baru itu dapat didefinisikan dalam empat bentuk pengembangan, yaitu: (1) menggambarkan kegiatan jurnalistik yang bertujuan menciptakan opini publik dengan penekanan obyektivitas pers untuk mewujudkan fungsi watch dog (penjaga moral) dari the fourth estate (pilar keempat) dalam trias politica, (2) memetakan upaya jurnalisme yang mengkhususkan target pembacanya, (3) penggunaan metode ilmiah dalam teknik reportase dan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang disyaratkan oleh dunia akademis ke dalam teknik pencarian berita, dan (4) membuat berita dengan sajian berita yang sejenis kreasi sastra yang dikemas jadi gaya baru dalam penulisan nonfiksi.

II. Feature
Gaya penulisan Jurnalisme Sastra kerap disebut sebagai Feature. Tulisan Feature merupakan tulisan kreatif yang dirancang untuk memberi informasi tentang sesuatu kejadian, situasi atau aspek kehidupan seseorang, dengan gaya penulisan yang lebih menyentuh perasaan (tidak berat seperti straight news/ bersifat menghibur). Feature merupakan karangan lengkap nonfiksi yang dipaparkan secara hidup, sebagai pengungkapan daya kreativitas, kadang dengan sentuhan subyektivitas penulis dengan tekanan pada daya pikat manusiawi, untuk tujuan memberi tahu, menghibur, mendidik dan meyakinkan pembaca.
Dengan demikian, feature dapat dikatakan tulisan yang lebih ringan dibandingkan artikel opini. Walau demikian bukan berarti enteng. Kekhasannya terletak pada unsur kreativitas (dalam penciptaannya), informatif (isinya), menghibur (gaya penulisannya), dan subyektif (cara penuturannya). Kisah yang diangkat dalam feature bersifat kemanusiaan, panjang, cukup lengkap, dan menonjolkan aspek-aspek luar biasa dalam sebuah peristiwa. Isi tulisan mengeksplorasi minat pembaca pada manusia lain dan mengingatkannya untuk berbagi pengalaman kemanusiaan.
Dalam feature, aktualitas “waktu” bukan sebuah elemen utama yang di biasa diberlakukan pada setiap penulisan hard news. Ketekunan memungut hal-hal spesifik ketika berada di lokasi observasi juga menjadi aspek penting dalam membuat suatu feature. Dalam jurnalisme sastra, kekuatan novel tercampur ke dalam gaya menulis jurnalisme sastra yang (sebagai karya nonfiksi) tidak kalah mutunya dibandingkan sebuah novel.
Minimal feature dapat dibagi kepada tiga jenis; news feature, feature pengetahuan, human interest feature. News Feature biasanya muncul berbarengan dengan suatu peristiwa. Dalam hal ini, news feature membicarakan kejadian dari peristiwa tersebut disertai proses timbulnya kejadian itu. Umumnya, tulisan news feature hanya memerlukan unsur apa (what) dan bagaimana (how) peristiwa tersebut terjadi. Sementara unsur mengapa (why) peristiwa tersebut terjadi tidak begitu jadi perhatiannya.
Feature Pengetahuan merupakan jenis tulisan yang biasa dikemukakan dengan cukup berbobot. Ciri tulisan ini ditandai oleh kedalaman pembahasan obyektivitas pandangan yang dikemukakan. Ia memuat data dan informasi secara memadai. Dalam operasionalnya ia tidak hanya menjelaskan pertanyaan mengapa (why) dan bagaimana (how) suatu peristiwa terjadi. Namun ia juga harus mampu menjelaskan secara ilmiah yang dapat diterima secara logis. Contoh tulisan ini adalah artikel mengenai penemuan baru dalam dunia program komputer bernama cellular automata yang mulai dikenalkan pada tahun 1999.
Human Inters Feature merupakan feature yang lebih banyak menuturkan situasi yang menimpa orang, dengan cara penyajian yang menyentuh hati dan menggugah perasaan. Seperti orang yang selamat dari bahaya kecelakaan kereta api, tanah longsor, banjir besar, atau yang lainnya. Berita semacam ini biasanya dapat menumbuhkan simpati kemanusiaan sehingga bila tulisan tersebut benar-benar berkualitas akan mampu mendorong masyarakat untuk melakukan gerakan sosial atas nama kemanusiaan.

III. Subyektivitas Feature
Tulisan feature dikatakan sebagai tulisan yang subyektif. Padahal dalam penulisan berita tidak diperkenankan memasukkan unsur subyektivitas dalam berita. Pertentangan subyektif dan obyektif dalam berita membuat feature masih menjadi pertentangan serius dalam dunia jurnalistik. Sebagian jurnalis masih menghindari feature karena berita tersebut dikhawatirkan berdampak negatif karena unsur subyektivitasnya. Tetapi sebagian lainnya menyepakati teknik penulisan feature karena unsur subyektivitas yang ada merupakan subyektivitas yang bersifat obyektif.
Maksud subyektivitas yang bersifat obyektif, subyektivitas yang ditawarkan merupakan subyektivitas yang berlaku secara universal. Misalnya pada saat menggambarkan tentang musim penghujan yang basah dengan hembusan udaranya yang dingin. Kata “dingin” merupakan kata yang bersifat subyektif karena setiap orang tidak memiliki ukuran baku tentangnya. Akan tetapi, kita akan selalu bersepakat bila musim hujan terasa “dingin” bukan “panas”. Dalam kondisi semacam ini, subyektivitas yang dilontarkan merupakan subyektivitas yang obyektif.
Subyektivitas yang bersifat obyektif dapat pula dicontohkan pada penggambaran tentang kepiluan hati keluarga korban tanah longsor. Kata “pilu” merupakan kata yang sangat subyektif, sebab kepiluan seseorang hanya dirasakan orang itu sendiri, kita sebagai penulis tak bisa melihat secara konkret bentuk kepiluan tersebut. Akan tetapi, dengan melihat lelehan air mata yang mengucur deras di pipi, suara tangis yang terdengar histeris dan menyayat, atau ekspresi wajah yang sangat menyedihkan, kita bisa bersepakat bahwa kata “pilu” dapat kita gunakan untuk menggambarkan perasaan seseorang.



Alip Ediyanto, Penjaga Menara Suar

Badai Petir Itu Bisa Mengancam Nyawa Saya

DI ATAS Menara Suar Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Alip Ediyanto (53) menatap senja. Bulatan merah matahari mengambang di atas lautan. Tinggal separuh dan terlihat amat memerah. Sebuah kapal bergerak mendekat, meninggalkan terompet parau yang tinggi memanjang. Dari kejauhan ombak berkejaran di tepian, mengumpulkan buih-buih putih, bergulung meninggalkan riak-riak yang memecah. Ada pesawat melesat ke angkasa, menggeram sesaat, lalu menghilang di balik awan.
Senja dengan matahari yang mengambang di atas laut, bagi lelaki Kelahiran 7 Agustus 1953, adalah sebuah gambaran keseharian yang senantiasa dia kecap keindahannya. Sejak tiga puluh dua tahun lalu, ketika kali pertama dirinya menerima tugas sebagai penjaga menara suar, keindahan matahari  senja di atas lautan itulah yang senantiasa menemani. Tak hanya saat menjaga menara suar Palabuhan Tanjung Emas Semarang saja, di menara-menara suar lain, matahari senja itulah yang menjadi sahabat setia dalam bertugas.
"Sejak kecil Tuhan sepertinya telah menuntun saya untuk menggeluti pekerjaan ini. Dulu saya sering mendapat bayangan berdiri di atas menara suar, padahal pada saat itu saya sama sekali tidak tahu bagaimana bentuk menara suar. Rasa-rasanya memang aneh, tetapi kenyataannya saya memang menjadi penjaga menara suar," tutur lelaki yang tercatat sebagai pegawai Bagian Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) Distrik Navigasi Semarang.
Puluhan tahun bekerja sebagai penjaga menara suar, tentu banyak perubahan yang terjadi pada diri Alip. Alip Tua memang tak lagi sama dengan Alip Muda. Bertambahnya usia telah banyak memangkas ketangkasannya. Gerakannya tak lagi cekatan dan tubuhnya juga mulai sakit-sakitan. Tetapi semangat untuk mengabdi memang tak pernah surut. Baginya, usia tak akan bisa menghalangi dirinya untuk menjalankan tugas.
Di tempat bekerja, Alif adalah penjaga menara suar tertua serta paling dituakan. Sebagai penjaga menara tertua, Alip telah banyak mengecap asam garam kehidupan. Pengalaman-pengalaman tentang susahnya bertahan hidup di pulau-pulau terpencil, atau pengalaman tentang bagaimana bertahan dari badai petir menggila di musim Angin Barat, semua masih melekat erat dalam benaknya.
Kenangan tentang badai petir, misalnya. Alip telah berkali-kali menghadapinya di Menara Suar Karimun Jawa. Ketika badai petir itu menggila, yang bisa dilakukan olehnya hanyalah berlindung di dalam mes karena tempat itulah satu-satunya ruang yang paling aman. Yang mengerikan lagi, saat badai datang, tak sekali dua kali petir-petir itu menghantam menara suar, akibatnya sungguh luar biasa; lampu menara padam, jaringan listrik terbakar, atau dinding menara yang bolong.
Bila hal ini terjadi, saat badai sedikit mereda, tak ada pilihan bagi Alip bila tidak segera memperbaiki semua kerusakannya. Dengan cekatan dia akan menaiki tangga menara. Namun bila badai itu kembali menggila, secepatnya pula dia harus turun dan berlindung dari ancaman.
"Sedikit saja lengah, badai petir itu bisa mengancam nyawa saya. Saya harus pandai mencari waktu jeda antara hujan dan petir. Tapi kalau tiba-tiba badai petir kembali datang, saya harus cepat-cepat turun. Memang beresiko, tapi aturan pemerintah mengharuskan demikian, apapun keadaannya, lampu menara tak boleh padam," tutur Alip.
Kenangan pahit lain yang pernah dia alami adalah saat berjaga di Menara Suar Pulau Nyamuk (kawasan Karimun Jawa). Seperti namanya, pulau tersebut terdapat jutaan nyamuk. Setiap kali musim nyamuk tiba, pada malam hari, dengungan suara nyamuk sangat mengganggu, bahkan karena banyaknya nyamuk, dia tak berani untuk membuka pintu. Segala beban ini masih belum lagi ditambah susahnya mencari air bersih di Pulau Nyamuk. Satu-satunya sumber yang bisa diandalkan hanyalah air hujan yang harus dia kumpulkan dalam bak penampungan.
"Hidup di Pulau Nyamuk sangat sulit. Untuk menuju menara saja, harus berjalan naik sepanjang 500 meter sambil membawa bahan bakar. Belum lagi kalau persediaan air menipis, kami bisa berhari-hari tidak mandi karena air harus kami gunakan untuk masak dan minum," tandasnya.
Rindu keluarga
Meskipun pekerjaannya ini sangat berat, Alip selalu berusaha untuk tidak mengeluh. Apapun yang dia kerjakan saat ini dianggapnya sebagai kewajiban dalam menjalankan tugas. Yang kerapkali menimbulkan kesedihan hatinya barangkali hanyalah pada saat-saat dia teringat pada keluarga. Bekerja sebagai penjaga menara suar memang tidak mengenal kata libur ataupun cuti. Kalaupun bisa beristirahat, itupun paling lama hanya dua atau tiga hari. Selebihnya, dia harus kembali ke lokasi kerja.
            Karena tuntutan pekerjaan, rumahnya yang berada di Desa Mandungan RT3/VI Jungke Kabupaten Karanganyar jarang sekali dia tengok. Anggota keluarganya pun hanya tempo-tempo saja melihat dirinya. Bahkan Alip mengaku, karena pekerjaan pula, dia tak sempat melihat anak-anaknya tumbuh. Sesuatu yang sebenarnya ingin selalu dilihat oleh setiap orang tua. Tetapi suami dari Sri Asihmi (48) ini masih bersyukur, sebab ketiga anak mereka; Vindra Pramesthi Dewi (25), Dian Pramitha Sari (19) dan Dias Pratiwi Putri (12), meskipun tanpa bimbingan sang ayah, ternyata bisa tumbuh menjadi anak-anak yang baik.
“Anak pertama saya sudah lulus UPN Yogyakarta, yang kedua masih kuliah di tempat yang sama, sedang yang paling kecil masih duduk di kelas enam SD. Kalau ditanya, pada saat apa yang bisa bahagia, jawabnya hanya saat kami bisa berkumpul semua,” tutur Alip.
Dengan pengorbanan yang sebesar ini, Alip kadang-kadang merasa prihatin, bila mendengar masih ada saja kapal yang kecelakaan karena tak mengikuti aturan lalu lintas laut. Sebagai bagian dari orang-orang yang membantu menjaga aturan lalu lintas laut, dirinya hanya berharap, semoga musibah-musibah itu tak lagi terjadi. Tetapi kadangkala Alip merasa juga merasa bila semua harapannya itu seperti harapan kosong di tengah ketidaktertiban seluruh elemen bangsa ini. Semua kecelakaan yang terjadi tak lain karena mereka tak pernah mengikuti aturan dan tata tertib yang telah digariskan.
Senja makin membayang. Tetapi di atas menara suar itu Alip masih berdiri. Pandangannya menebar ke seluruh lautan. Menatap kesenyapan yang sama, sampai petang menjelang. Bayang-bayang kapal mengabur. Lampu-lampu menyala. Tetapi tak ada sesuatu yang tertangkap olehnya, kecuali lautan lepas yang kian lenggang dan sunyi. Di tengah lautan sana, masih ada kapal yang menantikan tanda-tanda. [Zainal Arifin ZA]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar